Minggu, 25 Maret 2012

ALAWIYYIN





 Pengertian Alawiyyin
Alawiyyin adalah sebutan bagi kaum atau sekelompok orang yang memiliki pertalian darah dengan Nabi Muhammad. Kata Alawiyyin memiliki dua pengertian, pengertian pertama ialah keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib sedangkan pengertian kedua menunjukan keturunan Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa ar-Rumi bin Muhammad an-Naqib bin Ali al-Uraidhi bin Ja’far Ash-shadiq  Sebutan lain untuk Alawiyyin adalah Ba' Alawi.
Awal terbentuknya kelompok keluarga ini ialah dari Imam Ahmad al-Muhajir, setelah memperhatikan munculnya berbagai macam bid’ah dan berkecamuknya berbagai macam fitnah serta perselisihan faham di negeri Irak, beliau lalu berhijrah meninggalkan negeri ini berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri yang lain hingga sampai ke Hadramaut di Yaman, kemudian beliau tinggal di negeri ini sampai wafat. Maka Allah telah memberkahi keturunannya sehingga terkenal lah banyak tokoh dari keluarga ini dalam ilmu, ibadah ma’rifah dan kewalian. Mereka tidak mengalami apa yang dialami oleh golongan-golongan Ahlul Bait yang lain dengan mengikuti berbagai bid’ah dan faham yang sesat. Semua itu adalah berkat niat yang suci Imam Ahmad Al-Muhajir yang telah melarikan diri dari fitnah, demi menyelamatkan agama dan aqidahnya dari pusat-pusat fitnah yang berangkat meninggalkan Basrah di Irak bersama keluarga dan pengikut-pengikutnya pada tahun 317H/929M untuk berhijrah ke Hadramaut di Yaman Selatan. Cucu Imam Ahmad yang bernama Alawi, merupakan orang pertama yang dilahirkan di Hadramaut. Oleh karena itu, anak-cucu Alawi digelari dengan sebutan Ba 'Alawi, yang bermakna Bani Alawi (keturunan Alawi). Panggilan Ba'Alawi juga bertujuan memisahkan kumpulan keluarga ini dari cabang-cabang keluarga lain dari keturunan Nabi Muhammad. Seorang Ba'Alawi juga dikenali dengan sebutan Sayyid (Saadah, untuk sebutan jamaknya). Sebutan Habib adalah panggilan khas lainnya kepada kelompok keluarga ini.
Keluarga Ba 'Alawi yang bermula di Hadhramaut ini telah berkembang-biak dan pada saat ini banyak di antara mereka menetap disegenap pelosok Nusantara, India, dan Afrika. Di Indonesia, penelitian tentang otentisitas keturunan (nasab) Alawiyyin dipelihara oleh suatu organisasi bernama Rabithah Alawiyyin, yang berkantor pusat di Jakarta Selatan. Namun di kalangan Saadah Alawiyyin, ada yang telah berhijrah pada abad-abad ke-16 dan 17 Masehi atau bahkan lebih awal lagi ke India dan Indonesia. Daftar nasab mereka tersebut mungkin tidak tercatat atau bahkan telah hilang sama sekali.
Kemudian Buya Hamka menjelaskan, bahwa dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda yang artinya : “Sesungguhnya anakku ini adalah pemimpin (sayyid) pemuda ahli surga”  (seraya menunjuk kedua cucu beliau, yaitu Sayyidina Hasn dan Husein). Berdasarkan hadits tersebut sudah menjadi tradisi turun temurun bahwa setiap keturunan sayyidina Hasan dan Husein digelari sayyid. Dipandang sangat tidak hormat kepada Rasulullah SAW jika ada yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidak memiliki keturunan dan mengatakan bahwa orang yang mengaku keturunan beliau SAW adalah seorang yang berbohong. Tidak akan mengatakan perkataan seperti ini kecuali orang yang dihatinya terdapat perasaan iri dan dengki.
 Al-Imam Ahmad Al-Muhajir
Pada abad keempat hijriah merupakan masa yang paling gelap dalam sejarah islam. Di kalangan muslimin umat terpecah belah menjadi bebrapa kelompok diantaranya adalah kelompok Sunni, Syi’ah, Khawarij, Mu’tazilah, dan kelompok-kelompok lainnya. Belum lagi datangnya kelompok Zanji (komunitas budak kulit hitam asal Afrika yang pada tahun 871 M menjarah dan membuat kekacauan di kota Bashrah Iraq) di Bashrah, yang banyak menimbulkan kekacauan dan kerusakan disegala bidang. Disebutkan bahwa ketika terjadi penyerangan dari kelompok Zanji, ribuan warga Bashrah dalam tiap harinya. Ditambah lagi kehadiran kaum Qaramitha (kelompok ekstrem Syia’ah yang berniat menumbangkan kaum Sunni dan mereka menyatakan bahwa semua ajaran yang telah dibawa Rasulullah SAW wajib diperangi. Mereka menjanjikan untuk memberikan kesamaan hidup bagi rakyatnya. Mereka mendirikan pusat pemerintahannya di Hassa, kawasan timur laut Arab) pada tahun 310 H yang telah menjadikan kota Bashrah semakin mencekam. Pada masa itu sejarah mencatat, bahwa pada tahun 930 M kaum Qaramitha masuk dan menyerang kota suci Makkah, bahkan Hajar Aswad berhasil dijebol serta dirampok dari tempat asalnya dan berada ditangan kaum Qaramitha selama 23 tahun. Suasana Makkah dan Madinah saat itu sangat mencekam, pembunuhan terjadi diberbagai penjuru kota.
Dalam keadaan seperti itulah Al-Imam Ahmad bin Al-Muhajir meniggalkan tanah kelahirannya untuk menyelamatkan akidahnya, serta bagi generasi keturunan berikutnya. Kemudian ia memilih Hadhramaut, sebuah negeri miskin yang tandus sebagai tempat hijrahnya demi untuk menyelamatkan akidah dan agamanya. Al-Imam Ahmad bin Al-Muhajir merupakan sesepuh dari seluruh keturunan Ba’alawi yang ada. Ia memiliki jasa yang sangat besar bagi semua anak dan cucunya, sebab beliau rela meninggalkan tanah air dan kekayaannya hanya untuk menyelamatkan akidah dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Ketika masuk ke Hadhramaut beliau melalui arah negeri Yaman, beliau menggunakan metode dakwah dengan akhlak yang lembut dan luwes, hingga tidak sedikit dari kaum Khawarij yang dulunya bersifat brutal akhirnya menyatakan taubat dihadapannya. Menurut sumber sejarah yang shahih dikatakan, bahwa madzhab Khawarij merupakan madzhab yang paling banyak dianut masyarakat Hadhramaut kala itu. Mereka saling berebut pengaruh dengan kelompok Zaidiyah (penganut faham Syi’ah yang ajarannya mendekati faham ahlussunnah wal jama’ah). Namun, dengan keluasan ilmu dan keberanian Al-Imam Ahmad bin Al-Muhajir, dirinya berhasil mengajak para pengikut Khawarij untuk menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih dan ahlussunnah wal jama’ah dalam akidah, dan sebelum abad 7 H berakhir, madzhab Khawarij telah terhapus secara menyeluruh dari Hadhramaut serta akidfah ahlussunnah wal jama’ah diterima oleh seluruh penduduknya.
Di Hadhramaut sendiri, akidah dan madzhab Al-Imam Ahmad bin Al-Muhajir adalah Sunni Syafi’i dan ini terus berkembang hingga saat ini tanpa berkurang sedikitpun. Hadhramaut kini menjadi kiblat kaum Sunni yang ideal terutama bagi kaum Alawiyyin, hal ini dikarenakan kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan akidahnya. Ini dapat dilihat bagaimana amalan mereka dalam bidang ibadah yang tetap berpegang pada madzhab Syafi’i, seperti pengaruh yang telah mereka tinggalkan di Nusantara ini. Dalam bidang tasawwuf (ajaran akidah dalam islam), meskipun ada nuansa Ghazali, namun di Hadhramaut menemukan bentuknya yang khas yaitu tasawwuf sunni salaf (periode terdahulu) Alawiyyin yang sejati.
Dari Hadhramut inilah anak cucu Al-Imam Ahmad bin Al-Muhajir menjadi pelopor dakwah islam hingga ufuk timur, diantaranya ke daratan India, kepulauan Melayu, dan juga Indonesia. Selain itu, ada pula yang berdakwah hingga ke daratan Afrika, Etophia, hingga kepulauan Madagaskar (sebuah negeri/kepulauan di kawasan benua Afrika). Dalam berdakwah, mereka tak pernah bergeser sedikitpun dari asas keyakinannya yang berlandaskan Al-Quran, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.
Prof. DR. Hamka mengatakan : “Tidak layak untuk tidak mengetahui bahwa Alawiyyin Hadhramaut berpegang teguh pada madzhab Syafi’i. Bahkan yang mengokohkan madzhab ini di Indonesia, khusunya di tanah Jawa, adalah para ulama Alawiyyin Hadhramaut”.
Mencintai Keluarga Nabi
Setelah meneliti dalil-dalil Al-quran maupun hadits Rasulullah SAW, As-Syekh DR. Muhammad Abduh Al-Yamani menyimpulkan bahwa keluarga nabi Muhammad SAW terdiri dari Fatimah, Ali, Hasan, Husein (sebagai Ahlul Kisa’ yang disebutkan didalam sebuah hadits nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Al-Imam At-Turmidzi dalam sunanya), beserta para keturunannya. Sedangkan para isteri Rasulullah SAW juga merupakan keluarga nabi Muhammad SAW yang berdaasarkan keumuman ayat Al-quran serta konteks hadits. Sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits tentang anjuran membaca shalawat kepada nabi Muhammad SAW, isteri dan keluarga beliau SAW.
Dari Abi Humaid As-Sa’idi r.a, ia berkata kepada Rasulullah SAW : “ Ya Rasulullah bagaimana cara kami membaca shalawat kepadamu?” Rasulullah SAW menjawab: “Bacalah ya Allah, mudah-mudahan Engkau selalu mencurahkan shalawat kepada nabi Muhammad SAW, para isteri, dan para keturunannya. (H.R. Bukhari).
Selanjutnya, anjuran untuk menghormati dan memuliakan keluarga Rasulullah SAW beserta keturunannya adalah perintah Rasulullah SAW, yang sebagai mana disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwatkan oleh sahabat Abi Sa’id Al-Khudri r.a beliau berkata “Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua wasiat, Kitabullah dan keluargaku” (H.R. At-Tirmidzi hadis nomor 3720  ). Dalam riwayat lain disebutkan yang artinya : “Aku tinggalkan bagi kalian dua hal, selama kalian berpegang teguh dengan du hal tersebut, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya. Yang pertama adalah Al-Quran dan yang kedua adalah keturunanku (Ahul Bait-ku). Sungguh keduanya tak akan terpisah selamanya hinngga mereka datang kepadaku di telagaku kelak.”
Maka sudah sepantasnya bagi kita segenap umat Islam untuk mencintai dan menghormati mereka para keluarga nabi Muhammad SAW beserta keturunannya. Kecintaan ini sudah diteladani dan menjadi tradisi para ulama yang telah mengamalkan ilmunya dan para auliya Allah SWT. Mereka selalu menghormati, mencintai serta berpegang teguh kepada keluarga nabi Muhammad SAW beserta keturunannya.
Meskipun begitu apabila kita menemukan dari keturunan Rasulullah SAW yang menyimpang, sebagai bentuk rasa cinta kepada mereka kita wajib beramar ma’ruf nahi munkar. Al-habib Salim bin Abdullah As-Syathiri membedakan antara ta’dzim dan amar ma’ruf nahi munkar. Terhadap para dzuriyat rasul kita memang dianjurkan untuk ta’dzim namun jikalau mereka melakukan kesalahan perlun diingatkan, jika tidak maka kita ikut berdosa karena tidak beramar ma’ruf nahi munkar.
Thariqah Yang Damai
Thariqah Alawiyah adalah sebuah metode, sistem atau cara yang digunakan oleh para Bani Alawi dalam perjalanannya menuju Allah ‘azza wa jalla. Thariqah ini menjadi istimewa karena diwarisi dari leluhurnya yang tiada lain adalah cucu nabi Muhammad SAW. Thariqah Alawiyah ini dicetuskan pertama kalinya oleh Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad bin ali Ba’alawi yang ditandai dengan berkembangnya tasawuf di Hadhramaut.
  Thariqah Alawiyah sebagai peneladanan yang sempurna terhadap Rasulullah SAW, keluarga serta para sahabt beliau SAW dengan sebenar-benarnya peneladanan. Dalam hal ini, Al-‘Allamah Al-Imam Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad, yang merupakan seorang tokoh Alawi pada abad 17 M menjelaskan secara singkat Thariqah Alawiyah dalam nasehatnya: “Lazimkanlah selalu Kitabullah dan ikutilah sunnah Rasulullah SAW serta teladanilah para salaf, niscaya Allah SWT akan memberimu hidayah-Nya”.
Thariqah ini juga disebut sebagai ahlussunnah wal jama’ah. Ahl berarti keluarga, golongan, atau pengikut, as-sunnah yaitu segala sesuatu yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW, al-jama’ah yaitu apa yang telah disepakati oleh para sahabat Rasulullah SAW pada masa Khulafaur Rasyidin. Jadi ahlussunnah wal jama’ah merupakan ajaran yang mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan oleh nabi Muhammad SAW, keluarga dan para sahabatnya.
Thariqah Alawiyah adalah thariqah pemersatu umat Islam secara keseluruhan. Thariqah ini tidak pernah mengenal permusuhan, tidak menyebarkan kedengkian, tidak mengajarkan kebencian, tidak membalas cacian dengan cacian, melainkan sebagai penyebar rahmat bagi seluruh alam. Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa suatu waktu Al-Imam Hasan bin Ali bin Abi Thalib berjalan bersama puteranya, tiba-tiba mereka dihadang oleh seseorang, lalu orang tersebut mencaci maki sayyidina Hasan bahkan mencaci ayah dan ibunya. Putera sayyidina Hasan tidak tahan terhadap makian tersebut dan menegur ayahnya : “Wahai ayahku, kenapa engkau tidak membalas makian orang tersebut? Sedangkan engkau memiliki hak untuk membalas makian orang tersebut wahai ayah.” Maka sang ayah memandang kepada anaknya dan berkata menasehatinya: “Wahai anakku sejak kapan engkau pernah mendapati ayahmu atau kakekmu menjadi seorang pencaci?”.
Dalam sebuah riwayat, Rasululah SAW pernah hadir dalam suatu peperangan dimana orang Musyrikin banyak membantai kaum muslimin. Pada saat itu, salah satu shabat berkata kepada beliau SAW: “Ya Rasulullah, laknatlah mereka orang-orang musyrikin karena telah membantai sudara-saudara kita”.  Dengan bijak, Rasulullah SAW menjawab: “Aku diutus oleh Allah SWT bukan sebagai pencaci ataupun pelaknat, sesungguhnya aku diutus oleh Allah SWT sebagai pembawa rahmatbagi alam semesta ini”. Demikianlah apabila seorang mengenal, mempelajari dan menjalani thariqah ini dengan benar, maka menyebabkan orang untuk saling memaafkan dan berbuat baik, sehingga menumbuhkan persatuan dan kesatuan dikalangan kaum muslimin.
Asal usul Wali Songo
Menurut Al-habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri, para wali songo yang menyebarkan dakwah islamiyah di Indonesia, mereka adalah para Alawiyyin yang datang dari Hadhramaut. Mereka merupakan para dzuriyat Rasulullah SAW yang silsilahnya bersambung kepada Al-Imam Ahmad Al-Muhajir. Silsilah wali songo sampai kepada Al-Imam Alwi ‘Amm Al-Faqih Al-Muqaddam. Sayyidina Alwi ini memiliki sebelas putera, dari kesebelas putera inilah yang meregerenasi para ulama yang bertebaran keberbagai penjuru dunia, diantara puteranya itu adalah Abdul Malik yang kemudian berhijrah ke India. Abdul Malik memiliki putera yang bernama Abdullah, dan dari Abdullah inilah terlahir Ahmad Jamaluddin, yang selanjutnya memiliki keturunan penyebar dakwah Islam di Asia Tenggara terkenal dengan sebutan wali songo. Dari rujukan berbagai kitab sejarah mu’tabar (tekenal), pasti kita temukan bahwa para wali songo itu adalah keturunan Ba’alawi yang selalu berpegang teguh pada ajaran para leluhurnya, yaitu bermadzhab Syafi’i secara fiqih dan secara akidah mereka menganut teologi Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi, sedangkan manhaj dan dakwah mereka mengikuti Thariqah Ba’alawi.
Selanjutnya Al-habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri mengingatkan, agar umat Islam mempertahankan akidah yang telah dibawa oleh wali songo dan tetap berada dalam thariqah slafunasshalihin, para generasi terdahulu yang memiliki keimanan yang kuat. Menurutnya, akidah ahlussunnah wal jama’ah adalah ajaran yang sudah mu’tabar serta diakui oleh mayoritas ulama. Dan semua konsep keilmuan serta akidah yang menjadi landasan ajaran ini terkodifikasikan (terbukukan) dalam banyak literatur keislaman, dan semua literatur itu dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Al-habib Salim bin Abdullah Asy-Syathiri kembali menegaskan bahwa akidah Ba’alawi berlandaskan pada ahlussunnah wal jama’ah, yaitu sebuah ajaran yang tidak pernah mencaci siapapun apalagi para sahabat Rasulullah SAW.
Menanggapi beberapa golongan Bani Alawi yang menyimpang, Al-Habib Salim mengibaratkannya seperti organ tubuh yang terkena noda. Apabila ada salah satu noda dibagian organ tubuh, maka kita tidak perlu mengamputasi atau memotong organ tersebut, namun cukup dibersihkan dan disucikan, dalam hal ini dengan cara mengajak mereka untuk kembali kepada ajaran para datuknya dari golongan orang-orang shaleh yang berakidah ahlussunnah wal jama’ah.
Metode Dakwah dan Pengaruh Ulama Alawiyyin di Indonesia
Sejak ratusan tahun yang lalu, para Alawiyyin atau yang di Indonesia orang mengenalnya dengan sebutan habaib, dikenal sebagai penyebar Islam yang gigih berdakwah ke berbagai belahan dunia sejak dahulu, kawasan Asia Tenggara pada umumnya dan Indonesia pada Khususnya telah menjadi salah satu tujuan dakwah mereka.
Rute perjalanan para Alawiyyin tersebut adalah Hijaz, India, Kamboja, Filiphina, dan terakhir adalah Indonesia. Dari abad ke abad mereka terus berdatangan ke Nusantara ini. Sebagaian besar mereka datang ke Indonesia dan menetap hingga akhir hayatnya, sedangkan sebagian lagi pulang kembali ke kampung halamannya di Hadhramaut. Adapula yang meninggalkan Indonesia, namun mereka tidak kembali ke Hadhramaut, melainkan melanjutkan pengembaraan dakwahnya ke negeri-negeri lain dikawasan Asia hingga Afrika.
Meskipun banyak diantara mereka yang meninggalkan Indonesia, namun yang tetap tinggal jumlahnya jauh lebih banyak. Sehingga Indonesia kemudian menjadi pusat komunitas para Alawiyyin diduia, disamping Hadhramaut. Bahkan survey, jumlah Alawiyyin di Indonesia lebih banyak dibanding yang berada di negeri nenek moyang mereka sendiri. Tidak mengherankan jika dalam literatur Islam, Indonesia disebut sebagai al-Mahjarutstsani atau tempat hijrah kedua bagi para Alawiyyin.
Paara ulama habaib sejak ratusan tahun yang lalu mempunyai hubungan akrab dengan para ulama kiai, ustadz, serta para santri dinegeri ini. Sejak datang dari Hadhramaut pada abad ke-18 M dan puncaknya pada akhir abad ke-19 M, habaib tersebut mendapatkan tempat yang baik dihati para ulama Tanah Aur, bahkan ada yang mengatakan kehadiran mereka ibarat siraman salju bagi perkembangan Islam di Nusantara. Artinya, dakwah mereka itu membawa kesejukkan dihati para penduduk mereka bergaul dan saling tolong menolong dengan para ulama aslinegeri, dan merekalah pemancang tonggak dakwah Islam di Nusantara.
Mereka berdakwah ke pelosok-pelosok negeri ini, dan tidak ada satu daerah pun yang dimasuki para habaib dengan cara kekerasan. Sebagai mana termaktub didalam Al-quran surat An-Nahl yang artinya “Ajaklah mereka dengan bijak dan berargumentasilah dengan baik”. Berangkat dari ayat ini, maka dari itu mereka selalu tampil dengan kesantunan dan perilaku yang terpuji. Metode ini terbukti awet, karena jika kita berdakwah dengan cara keras dan kasar, maka mereka pun akan berpaling dan lari dari kita. Thariqah dakwah habaib adalah thariqah sahlah, sebuah metode yang mudah dan sederhana.
Dengan kehidupan yang bersahaja, akhlak yang luhur, ketaatan pada agama sebagaimana tradisi para leluhur serta didasari keikhlasan yang tinggi, mereka berhasil memikat hati penduduk pribumi. Tidak mengherankan, jika dalam waktu yang begitu singkat, Islam dapat menyebar dan meluas keseluruh daerah di Nusantara pad khususnya dan kawasan Asia Tenggara pada umunya. Keberhasilan ini juag berkat kebijaksanaan, kesabaran dan ketekunan mereka. Para ulama Alawiyyin tersebut menyajikan Islam sebagai agama yang mudah, sehingga dapat diterima secara sukrela serta dengan sepenuh hati oleh kebanyakan penduduk. Makam dan jejak-jejak peninggalan mereka telah menjadi saksi bisu atas kehadiran para ulama Habaib tersebut.
Semua sumber sejarah telah menyebutkan, bahwa yang pertama kali menyebarkan agama Islam di Indonesia adalah para habaib yang datang dari Hadhramaut dan tidak ada satupun ahli sejarah yang memungkirinya. Hal ini dapat kita lihat dari akidah mayoritas para penduduk di Tanah Air ini yaitu ahlussunnah wal jama’ah dengan madzhab Syafi’i dan berthariqahkan Alawiyyah. Serta amalan yang berkembang dikalangan umat Islam di Indonesia saat ini, yang merupakan amalan para habaib. Seperti pembacaan maulid, tahlil, ratib, serta amalan-amalan lainnya. 
Komentar Ahli Sejarah Tentang Dakwah dan Peranan Alawiyyin di Asia Tenggara
As-Syekh Syamsuddin Abu Ubaidillah Muhammad bin Thalib Ad-Dimasyqi dalam kitabnya yang berjudul An-Nukhbah Ad-Dahr Fi ‘Ajaib Al-Baar Wa Al-Bahr. Dengan panjang lebar beliau menguraikan keadaan pulau Sila di sebelah timur Tiongkok, yang saat ini disebut Filiphina. “Disana telah masuk para kaum Alawiyyin di saat mereka menyelamatkan diri dari kejaran golongan Bani Umayyah dan al-Hajjaj. Disana mereka berdakwah, menetap sampai akhir hayat, hingga mereka juga dimakamkan dikepulauan tersebut”. Beliau juga menuliskan tentang negeri Champa atau lebih dikenal dengan Kamboja dan juga kawasan-kawasan sesudah Burma. Beliau menuliskan: “Dakwah Islam telah sampai disana sejak zaman Khalifah Utsman bin Affan. Lama setelah itu, kaum Alawiyyin juga masuk kekawasan tersebut. Mereka menyebrangi laut Zaefti kemudian menetap dan berdakwah di kepulauan tersebut hingga akhir hayatnya”.
Sejarawan Persia abad pertengahan, Asy-Syekh Nuruddin Muhammad Awfi menuliskan: “Setelah penindasan para keturunan Rasulullah SAW di masa kekuasaan Bani Umayyah semakin keras, sebagian mereka hijrah keperbatasan Cina. Disana mereka mendirikan tempat tinggal, tepatnya dikawasan tepi sungai. Dalam perkembangannya, para kaum Alawiyyin tersebut menyebar ke kwasan Asia Tenggara dan memegang peranan penting. Diantara mereka ada yang hijrah ke pulau jawa, yang saat itu masih dikuasai oleh kerajaan Majapahit yang beragama Hindu”.
Sejarawan Belanda L.W.C Van den Berg, dalam bukunya yang berjudul Le Hadhramaut et les Colonies Arabes dans I’Archipel Indien menuliskan: “Peranan para sayyid atau syarif asal Hadhramaut dalam penyebaran Islam di Nusantara sangatlah besar. Dari tangan merekalah Islam tersebar diantara para raja yang beragama Hindu, terutama di pulau Jawa, hal ini disebabkan karena para sayyid atau syarif Hadhramaut itu adalah keturunan manusia pembawa Islam. Dan hanya para sayyid lah yang berhasil mempersunting para puteri bangsawan. Penerimaan, penghormatan, serta kedudukan yang diterima oleh kaum pendatang negeri baru ini tentu menjadi salah satu faktor penting yang membuat mereka senang dan betah untuk bermukim, meskipun bukan itu tujuan kedatangan mereka”.
Syair dari Al-Imam Al-Allamah Al-Qutb Al-habib Abdullah bin Alwi Al-haddad :
ثَبَتُوْا عَلَى قَدَمِ النَبِيِّ وَالصَحْبِ            #         وَالتَّابِعِيْنَ لَهُمْ فَسَلْ وَتَتَبَّعِ
وَمَضَوْ عَلَى قَصْدِ السَّبِيْلِ إِلَى الْعُلَى    #        ئقَدَمًا عَلَى قَدَمٍ بِجِدٍّ أَوْزَعِ
       “Mereka tetap dalam jejak Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnay, serta generasi sesudahnya. Maka tanyakan kepadanya dan ikuti jejak mereka.
       Mereka menelusuri jalan menuju kemuliaan dan ketinggian. Setapak demi setapak mereka telusuri dengan kegigihan dan kesungguhan”.

0 komentar:

Posting Komentar

 

About

Site Info

Text

عبد الر حمن بن اسمائيل Copyright © 2009 Template is Designed by Islamic Wallpers